hosting
Breaking News
Loading...
Sunday, December 18, 2011

Tips Cerdas agar Artikel Termuat di Koran

KabarIndonesia - Sebagai seorang kolumnis dan jurnalis yang baru menggeluti profesi ini selama 10 tahun belakangan, hari ini saya ingin berbagai pengalaman menulis dengan Anda. Bila dihitung, artikel saya yang termuat di media cetak baru ribuan buah. Belum terlalu banyak memang, masih kalah jauh dengan para kolumnis senior seperti Goenawan “GM” Muhammad, Emha “Cak Nun” Ainun Nadjib, Amien Rais, M. Sobary, atau penulis kondang lainnya yang rata-rata sudah berkepala 5 ke atas.

Sedangkan jumlah artikel milik saya yang ditolak oleh berbagai redaktur koran dapat mencapai angka puluhan ribu tulisan. Masalah dimuat atau ditolak, bagi saya adalah hal yang biasa dan lumrah saja. Toh sekarang ada media online, yang dengan sukarela memuat seluruh tulisan siapapun, kendati tanpa mendapatkan honor atau upah tulisan.

Honor tertinggi untuk sebuah tulisan saya adalah Rp 1 juta. Dipotong pajak 10 persen. Artikel tersebut berjudul "Menunggu Kejutan Paska National Summit" yang termuat di Suara Pembaruan edisi 2 November 2009 (terlampir pada halaman terakhir paper ini). Itu adalah honor tertinggi yang pernah saya dapatkan sepanjang karier kepenulisan saya. Sementara ribuan tulisan lain milik saya pernah termuat di media cetak dan elektronik antara lain di: Kompas, Jawa Pos, Indopos, Bisnis Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Suara Karya, Lampungpost, Bernas Jogja, Harian Jogja, Tribun Jogja dan lain-lain. Dan lain-lain ini dimaknakan yakni Merapi, Minggu Pagi, KR Bisnis, Jogja Raya, Radar Jogja, Radar Solo, Solopos, Joglosemar, Pelita, Harian Bhirawa, Medan Bisnis, Harian Global, Bangkapos, Pewarta Indonesia, Kabar Indonesia, Kompasiana dsb.

Di lihat dari titik star, mulai memasuki dunia kepenulisan, bisa dibilang saya sudah telat. Karena baru dimulai pada tahun 2001 silam. Ketika saya menjadi mahasiswa tingkat awal di kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Meskipun dalam praktiknya, secara tidak langsung, dunia tulis-menulis sudah sangat saya gemari sejak saya duduk di bangku SD, sangat hobi yang namanya pelajaran bahasa Indonesia serta Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dengan bahasa Indonesia, menambah koleksi kosakata dan diksi kata dalam kamus perbendaharaan kata dalam otak saya. Sedangkan melalui IPS, saya bisa menambah bahan pengetahuan untuk menyusun sebuah tulisan yang menarik tentunya.

Ada satu pengalaman menarik ketika saya SD dahulu. Latar belakang keluarga saya yang miskin total, orang tua yang bekerja sebagai buruh tani dan kerja anyaman bambu (besek), jelas tidak mampu menghidupi secara layak sebuah keluarga yang memiliki 7 anak bersaudara. Saya anak yang terkecil. Ketika SD, hampir tiap semester, biaya SPP selalu menunggak. Celana (merah) dan baju (putih) seragam yang saya pakai, bukan baru. Melainkan lungsuran atau bekas seragam milik kakak kandung saya yang lebih tua 2 tahun. Kini ia menjadi jurnalis televisi swasta nasional (TV One) yang bertugas di Jawa Tengah.

Akibat seragam sekolah saya bekas, celana saya berlubang di bagian pantat. Karena sakingseringnya dipakai dan tergesek dengan kursi tempat duduk. Kalau dilihat dari kejauhan, seperti sepasang mata sipit. Ini kerap kali menjadi bahan ejekan teman sekelas dan kakak-kakak kelas lainnya. Tidak cukup itu. Uang untuk membeli buku pun nyaris tidak pernah punya. Saking tidak kuasanya saya mempunyai buku, padahal buku tulis saya sudah habis, terpaksa saya memakai satu buku untuk menulis seluruh pelajaran. Jadinya bukunya menjadi semacam gado-gado tulisan.

Nah terpentok habis satu-satunya yang saya andalkan itu habis, saya tidak kehilangan akal. Saya hapus itu tulisan yang terpacak di buku tersebut, khususnya pelajaran yang sudah diberikan beberapa hari yang sudah berlalu. Setelah penuh tulisan, kembali lagi lembaran buku yang sudah terpenuhi tulisan, saya hapus pakai setip (penghapus) yang terletak pada ujung pensil murahan. Hasilnya memang lumayan, masih bisa dipakai. Kendati di sana-sini terdapat lubang-lubang bekas setipan yang terjadi akibat terlalu banyak dihapus.

Tidak kurang akal, saya. Untuk mendapatkan buku baru, saya yang waktu itu baru berumur 7 tahun (SD kelas 2), mengumpulkan buah melinjo milik tetangga sebelah rumah, yangnotabene-nya orang terkaya sekampung. Setiap pagi saya mendapatkan sekitar segenggaman tangan buah melinjo. Melinjo-melinjo tersebut jatuh biasanya karena sudah tua, serta sebagian kulitnya krowak (tak utuh) dimakan oleh kelelawar dan tupai. Dalam waktu seminggu, terkumpul kurang lebih tujuh genggaman buah mlinjo yang terjual seharga Rp 900. Uang sebanyak itu sudah bisa untuk membeli buku sebanyak 9 buah, harga masing-masing buku cuma Rp 100. Itu pengalaman tahun 1987 silam, ketika saya masih kelas 2 SD Muhammadiyah Sragan, Minggir, Sleman, Yogyakarta.

Catatan di atas sebagai pengantar untuk memasuki pokok bahasan mengenai dunia tulis-menulis. Menulis adalah masalah perjuangan, komitmen dan kesadaran diri. Menulis adalah proses panjang, untuk memproduk sebuah karya tulis yang orisinal, berangkat dari kesadaran diri penulis melihat berbagai permasalahan yang menjerat kehidupan manusia. Menulis merupakan hasil kreatif berfikir manusia yang dituangkan dalam bentuk karya tulis. Oleh seorang wartawan, karya tulis itu bernama berita. Di tangan para sastrawan, karya tulis itu berubah menjadi cerpen, novel, esai, puisi, sajak, cerita bersambung dan lain sebagainya. Oleh para kolumnis, karya tulis itu dinamakan artikel. Sedang di mata para peneliti dan akademikus, karya tulis itu disebut skripsi, tesis, disertasi dsb.

Rahasia Menulis Produktif
Bagaimana cara mendapatkan ide tulisan atau artikel agar dapat di muat di koran? Begitulah pertanyaan yang berkali-kali dilontarkan kepada saya, ketika diundang menjadi pembicara dalam berbagai acara seminar, workshop atau diklat jurnalistik di mana-mana. Pertanyaan tersebut memang amat substansial. Masalahnya, ada banyak orang yang gagal menjadi penulis karena tidak mempunyai bahan atau ide yang bisa dijadikan dasar pemikiran untuk memulai sebuah tulisan. Untuk menggali dan menumbuhkembangkan munculnya ide, gagasan sebagai bahan menulis atau yang lebih tenar dinamai inspirasi; tradisikan saja dalam diri kita mempunyai minat yang tinggi dalam membaca. Membaca apa saja.

Yang terpenting, melalui proses membaca tersebut menambah stok cakrawala pengetahuan kita. Melalui budaya membaca, misalkan membaca koran, buku, majalah, internet dan sumber referensi bacaan lainnya, akan memperkaya wacana dan pemikiran kita tentang segala hal. Sebenarnya tidak terbatas pada pembacaan pada referensi di atas, tetapi juga kita bisa membaca lingkungan di sekitar kita, alam, pegunungan, laut dan apa saja yang bisa memperkaya cakrawala pengetahuan kita.

Penulis, adalah profesi yang unik dan membutuhkan pemikiran yang kuat. Kalau Anda pingin menjadi seorang novelis, belajarlah dulu menjadi seorang penulis cerpen (cerpenis). Kalau Anda ingin menjadi seorang kolumnis, belajarlah dulu menjadi seorang penulis artikel. Kalau Anda ingin menjadi seorang penulis buku, belajarlah dulu menjadi penulis apa saya yang pokok, ketrampilan Anda dalam menuangkan gagasan bisa tertuang secara sistematik dan fasih dalam menggunakan bahasa jurnalistik.

Saya pernah menjumpai begitu banyak dosen dan guru yang cerdas, memiliki segudang catatan prestasi ampuh dalam menghasilkan jurnal-jurnal ilmiah dan penelitian ilmiah, tetapi mereka gagal menjadi penulis di media massa cetak maupun elektronik. Persoalannya sederhana. Para intelektual kampus tersebut tidak memahami bahasa jurnalistik yang sederhana. Sehingga mereka gagal dalam mempresentasikan pemikiran mereka kepada publik.

Bahasa jurnalistik itu model bahasa yang ditulis dengan mengedepankan faktor kesederhanaan bahasa, cekatan dan bernas. Formula patennya mengacu pada rumus H5W (how, what, who, when, why, where). Bukan ragam bahasa yang diutarakan dengan bertele-tele dan berliku-liku. Banyak orang yang gagal memuatkan karya tulisnya di media cetak, karena tidak memahami esensi bahasa jurnalistik.

Sebagus apapun gagasan dan ide yang dimiliki seorang penulis yang tertuang dalam tulisannnya, tidak akan dimuat di media massa, kalau yang bersangkutan tidak memahami bahasa jurnalistik. Untuk memahami bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik, rajinlah membaca koran setiap hari. Amati dan analisa bagaimana para wartawan pada koran yang Anda baca, atau penulis yang termuat karyanya dalam koran bersangkutan, mengutarakan berbagai berita, informasi dan argumentasi dengan gaya bahasa jurnalistik masing-masing.

Kendati masing-masing media memiliki gaya dan cirikhas masing-masing terkait bahasa jurnalistik, tetapi satu yang sama, seluruh media massa mengembangkan bahasa jurnalistik dengan mengemasnya secara menarik, sederhana dan cekatan. Mengapa demikian? Masalahnya segmentasi para pembaca media massa yang beragam, mengharuskan semua informasi yang disajikan dalam media massa harus dikemas secara sederhana dan mengena, sehingga mudah dipahami oleh setiap orang. Bahkan tukang becak pun tidak harus mengernyitkan dahinya untuk memahami apa yang disajikan dalam sebuah media massa cetak maupun elektronik.

Tips Agar Artikel Termuat di Koran
Bagian ini saya kira yang paling Anda nantikan... Bagaimana agar artikel kita bisa termuat di koran, dan sekaligus mendapatkan honor atau uang dari redaksi? Tulisan kita yang berhasil termuat di media massa, berarti pasti akan dibaca oleh ribuan pembaca, bahkan ratusan ribu hingga jutaan pembaca. Melalui tulisan tersebut kita bisa memberikan pencerahan kepada publik. Di samping itu, popularitas nama kita, pasti segera berkibar. Semakin banyak tulisan Anda yang pernah termuat di media massa, dapat dikatakan kualitas karya tulis Anda sudah "bagus". Sebab untuk bisa menulis di koran atau media massa lainnya, Anda harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan penulis lainnya di seluruh Nusantara. Artikel milik Anda termuat di media massa, berarti Anda telah berhasil menyisihkan artikel milik penulis lainnya.

Sekarang kita bahas, bagaimana agar tulisan Anda segera dilirik oleh para redaktur media massa sehingga segera termuat di koran. Bagi Anda penulis pemula, atau yang baru pertama kali mengirimkan karya tulisnya di media massa, jangan terlalu pesimistis naskah tulisan Anda akan ditolak begitu saja oleh para redaktur media massa. Yang perlu Anda lakukan adalah dengan membuat karya tulis sebagus mungkin, taati aturan teknis dalam kepenulisan sesuai keredaksian media massa yang akan Anda sasar, kemudian kirimkan naskah tersebut cukup melalui email saja.

Ingat cukup melalui email saja, sebab saat ini sudah hampir seluruh media massa menyediakan alamat email untuk para penulis. Tidak seperti dahulu kala, ketika penulis baru mulai meniti dalam dunia kepenulisan, saya masih mengirimkan naskah tulisan saya melalui jasa pos, atau mengantarkannya langsung ke redaksi koran, setelah naskah tulisan saya cetak dan masukkan dalam amplop putih.

Sekarang teknologi sudah sangat memanjakan kita. Anda tidak perlu lagi mencetak artikel milik Anda, dan mengirimkannya ke redaksi koran melalui jasa pos. Anda juga tidak perlu repot lagi mengetik naskah Anda menggunakan mesin ketik manual, dahulu saya pernah mengalaminya pada tahun 1999, ketika saya baru saja lulus dari bangku SMA.

Betapa ruginya Anda jika pada zaman yang serba dimanja teknologi ini, Anda tidak bisa menjadi penulis di berbagai media massa. Kalau Anda tidak mempunyai laptop (komputer jinjing), Anda bisa memakai jasa warung internet, yang bertebaran di sekeliling tempat tinggal Anda. Kalau Anda tidak mempunyai komputer untuk mengetik, ada banyak usaha rental komputer di sekitar kampus atau tempat tinggal Anda yang bisa dipergunakan. Kalau Anda belum bisa mengetik menggunakan komputer, minta saja rekan atau famili Anda untuk mengajarinya.

Bagi Anda para penulis yang kerap tulisannya masih ditolak oleh para redaktur media massa, ya jangan mudah putus asa. Kirimkan terus karya Anda, jangan hanya terpaku mengirimkan tulisan Anda di media massa yang terbit di kota Anda, tetapi bidik juga media massa yang terbit di luar Jawa.

Bagaimana kriteria artikel yang menarik itu? Sederhana saja, harus mengangkat isu teraktual, gaya pembahasan yang cerdas, progresif tetapi tetap santun. Utarakan dengan bahasa jurnalistik yang sederhana, cekatan dan mengena. Kalau dapat, sertakan dalih-dalih ilmiah (logis) yang disertai dengan fakta-fakta yang menarik.

Berbicara masalah honor, ini sedikit sensitif ya... Tapi bolehlah berbagi sedikit informasi. Bahwasannya masing-masing media menetapkan honor untuk setiap artikel yang termuat di media massa bersangkutan, nilainya berbeda-beda. Ada yang kasih honor Rp 100 ribu, Rp 145 ribu, Rp 250 ribu, Rp 300 ribu, Rp 500 ribu, Rp 1 juta dan lain-lain. Tetapi bagi saya, honor tidak begitu penting, yang lebih substansial adalah masalah komitmen kita untuk terus berkarya dan memberikan pencerdasan pada publik.

Nah selamat berkarya, dan kabari saya bila naskah Anda termuat di media massa cetak atau elektronik. Saya pasti akan sangat senang dan bangga dengan Anda, akhirnya bisa melakukannya juga... (*)


Supadiyanto, anggota pewarta warga Harian Online Kabar Indonesia (HOKI)


Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:

0 comments:

Copyright © 2013 Sudar Tekno All Right Reserved